Berikut ini adalah artikel dari Harian Kompas, terbitan Jumat, 12 Oktober 2007.
Tertulis dengan begitu baik, artikel ini mengajak kita warga debataraja (secara tidak langsung) untuk aktif menerapkan pendidikan kesenian dalam rangka mengejar ketertinggalan. Baiknya memang mulai dipupuk di generasi muda, khususnya anak-anak, tetapi tidak tertutup kemungkinan untuk dewasa ataupun yang sudah 'berumur'. Belajar adalah proses seumur hidup.
Kesenian sebagai Pembelajaran Nilai
Secara Holistik, Seni Terkait Sistem Masyarakat
Jakarta,
Kompas - Kesenian dapat menjadi media, bahkan sangat potensial menjadi
pembelajaran nilai-nilai. Kesenian tidak sekadar media pencapaian nilai
estetik, dari sisi kontekstual kesenian mempunyai muatan nilai-nilai
lain yang akan membantu pembentukan kepribadian.
Ketua
Asosiasi Tradisi Lisan, sekaligus pengajar di Fakultas Ilmu Pengetahuan
Budaya Universitas Indonesia, Pudentia MPSS mengatakan, ketika orang
berkesenian, sebetulnya orang tengah mempelajari banyak nilai seperti
kedisiplinan melalui kepatuhan terhadap jam berlatih, ketaatan terhadap
pakem kesenian tertentu, dan kerja sama dalam tim.
Kesenian
di daerah dan seni tradisi dapat menjadi sumber pembelajaran yang
sangat baik. Terlebih lagi, kesenian tradisi yang masih terus hadir di
dalam masyarakatnya berarti telah mengalami seleksi secara alami dalam
arti masih dipandang berfungsi, dipandang indah, bernilai, sebagai
simbol-simbol ekspresi masyarakatnya, dan mengandung nilai-nilai baik.
Dalam kesenian biasanya juga tergambar kearifan lokal yang terbukti
berfungsi untuk mengatur hidup komunitas.
Berkesenian
membuat individu lebih peka terhadap kehidupan sekitarnya dan manusia
lain. Kesenian dengan berbagai bentuknya terkadang merupakan gambaran
dari kehidupan itu sendiri.
"Semakin
terlatih dalam kesenian, anak mempunyai orientasi nilai yang baik dan
berperasaan halus. Mereka akan mudah untuk diajarkan peka terhadap
kehidupan sekitarnya. Ketika belajar menari, misalnya, anak tidak hanya
belajar meniru gerakan, tetapi juga seharusnya mendalami mengapa tarian
itu ada dan filosofinya. Demikian juga dalam sastra. Anak tidak sekadar
diajarkan membaca dan menirukan bunyi. Namun, yang terpenting ialah
bagaimana memberikan penafsiran terhadap bacaan dan mencoba
memikirkannya," ujarnya.
Pudentia
menjelaskan, pendidikan untuk menanamkan nilai-nilai harus menekankan
kepada proses. Sulit jika iklim dunia pendidikan lebih menekankan
kepada hasil seperti belakangan terjadi dengan adanya Ujian Nasional.
Penanaman nilai dimulai dengan mengetahui nilai tersebut, memahaminya,
mengapresiasi, menginternalisasikan nilai tersebut, dan kemudian
mewujudkannya dalam bentuk perilaku.
Holistik terkait
Direktur
Eksekutif Lembaga Pendidikan Seni Nusantara Endo Suanda mengungkapkan,
pendidikan kesenian cenderung modernis atau terpisah dari sektor
lainnya. Pendidikan kesenian yang modernis menggunakan paradigma Barat
lama dengan pendekatan antara lain kesenian dibagi menjadi beberapa
jenis, seperti seni musik, teater, dan tari.
Selain
itu, terdapat kecenderungan untuk merumuskan kesenian yang baik,
terutama dari sisi nilai estetika. Padahal, kesenian tidak sekadar
melihat estetika saja. Pendidikan kesenian kurang melihat kesenian
terkait secara holistik dengan sistem masyarakat. Padahal, dengan
melihat konteks kesenian, akan mencuat nilai-nilai. Oleh karena itu,
pendidikan kesenian harus dilihat secara bijak.
"Pendekatan
pendidikan apresiasi kesenian yang didasarkan kepada kesenian
terkotak-kotak itu membuat kita kurang menghargai perbedaan. Padahal,
tidak ada nilai yang tunggal atau absolut. Di Barat sendiri pendekatan
itu mulai ditinggalkan dan digantikan dengan cultural base education
dan community base education yang melihat kesenian dari sisi
kehidupan." ujarnya. (INE)
Sumber:http://bambang-rewanggi.blogspot.com
Transkrip:http://ronaldorozalino.blogspot.com
0 komentar:
Posting Komentar